Pendidikan, Orang Miskin Silahkan Minggir!
Pendidikan, Orang Miskin Silakan Minggir!
SESUAI ketentuan
regulator pendidikan (kemendiknas dan pemda) bahwa pendidikan di tingkat
sekolah dasar bebas uang sekolah alias gratis, tetapi di lapangan tidak bebas
dari pungutan.
Sudah jadi rahasia
umum bahwa orang tua (ortu) murid selalu dikenakan ketentuan biaya tambahan
dengan dalih macam-macam. Memang pungutan itu secara resmi ditentukan secara
musyawarah melalui komite sekolah atau persatuan ortu murid, tetapi semangat
yang dibangun dalam pertemuan itu adalah berupaya mencari pemasukan dari semua
ortu.
Pendidikan yang baik
memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi dalam musyawarah itu selalu
saja membebankan biaya kepada ortu dan tidak pernah secara kreatif mencari
sumber-sumber dana lain seperti kerjasama dengan pihak industri. Jika kegiatan
ini dilakukan tentu tidak akan banyak membebani ortu, terutama mereka yang
kurang mampu membayar pungutan.
Bukan rahasia umum
lagi bahwa dunia pendidikan kita sangat mudah dijadikan obyek bisnis bagi
sebagian orang. Ini terlihat mulai dari menjamurnya bimbingan belajar (tes),
uang masuk sekolah yang selangit, hingga digantinya buku-buku pelajaran dengan
yang baru.
Semua itu tentu
menjadi beban murid (orangtua) unruk membelinya. Pihak sekolah atau Kementerian
Pendidikan seolah menutup mata akan beban orang tua atas biaya cukup besar saat
mereka memasukkan 'buah hatinya' ke sekolah.
Sekolah seolah menutup
telinga atas berbagai 'teriakan' dan keluhan orang tua terhadap banyaknya
punglimi (pungutan liar tapi resmi) itu. Seperti biasa tentu pemangku kebijakan
dan pihak penyelenggara pendidikan selalu siap dengan berbagai dalih jitu yang
dapat dianggap sebagai pembenaran munculnya 'proyek' bisnis tersebut.
Alhasil, masyarakat
miskin di negara kita makin trauma dan stres jika memasukkan anaknya ke sekolah
karena biaya yang terus membengkak.
Kurangnya empati
terhadap penderitaan rakyat merupakan fenomena yang (sudah biasa) terlihat pada
sebagian kalangan berkuasa di negeri ini (pejabat) tatkala mengeluarkan
kebijakan yang tidak bijak itu. Inilah pemandangan yang akrab kita lihat di
berbagai sektor kehidupan.
Semua sektor kehidupan
di masyarakat pun akhirnya nyaris ikut meniru atau 'mengcopy paste' nyaris
sempurna mentalitas buruk si penguasa yang tidak empatik tersebut. Jadilah,
sektor pendidikan melalui kalangan yang memiliki wewenang "mengatur"
kegiatan pendidikan turut berperilaku tidak empatik atas penderitaan rakyat
miskin.
Lebih jauh
lagi,anggota komite sekolah yang berasal dari unsur orang tua umumnya berasal
dari status sosial ekonomi menengah ke atas biasanya juga ikut-ikutan
menyetujui apa yang diajukan pihak sekolah. Lengkaplah sudah sikap dan perilaku
yang tidak memihak rakyat miskin dalam dunia pendidikan kita.
Penyelenggaraan
pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sesuai amanah
konstitusi RI kita, seakan dibiarkan "go public" alias mengikuti
selera pasar bak pebisnis memanfaatkan peluang bisnisnya. Inilah salah satu
efek dari apa yang dinamakan tata pandang neolib dalam pendidikan suatu paham
yang membiarkan pendidikan mengkuti mekanisme pasar bebas. Pendidikan kita
sangat kapitalistik, mereka mengandalkan dana, modal, uang atau kapital.
Orang kaya silakan
maju dan menikmati pendidikan, orang miskin silahkan mundur dan tergusur.
Inilah kondisi runyam pendidikan kita dewasa ini yang tak patut dijadikan
contoh bagi generasi penerus pemerintahan.
Hanya butuh 1 ID bisa main 8
BalasHapusJenis Permainan dan menjadi Jutawan.
Ayo Gabung bersama kami Bosku.
arena-domino.net
Buktikan Sendiri Bossku!