kebudayaan suku batak
Makalah Sosiologi
Suku Batak
Bab
I
Pendahuluan
A.
Latar belakang Suku Batak
Orang Batak adalah
penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali
bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi
menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga
bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara di zaman logam. Pada
abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asalIndia mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang
diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak
bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping
kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir
Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak
dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara.
Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal. Batak merupakan salah satu suku
bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk
mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari
Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan
sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak
Angkola, dan Batak Mandailing.
Mayoritas
orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula
yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut
Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah
semakin berkurang.
Bab II
Pembahasan
A.
Geografi dan Demografi Suku Batak
Tano Batak (Tanah Batak) meliputi daerah
seluas kurang lebih 50.000 km2, berpusat di Tao Toba (Danau Toba). Terbentang
dari wilayah pegunungan Bukit Barisan di sisi sebelah barat Propinsi Sumatera
Utara hingga pantai pesisir di sebelah timur. Sebagian besar Tano Batak
merupakan daerah dataran tinggi yang mengelilingi Danau Toba berilkim sejuk
sepanjang tahun , yaitu daerah Batak Karo, Batak Pakpak dan Batak Simalungun di
sebelah utara danau serta daerah Batak Toba, Batak Angkola dan Batak Mandailing
di bagian selatan. Pembagian daerah ini berdasarkan persebaran masing-masing
sub suku Batak yang menempati wilayah Tano Batak. Hingga saat ini pembagian
daerah pemukiman masyarakat batak tersebut diatas juga digunakan sebagai dasar
pembagian daerah administratif yaitu setingkat kabupaten.
Daerah Tano Batak berbatasan dengan Propinsi
Aceh di sebelah utara. Di sebelah barat berbatasan dengan daerah kepulauan Nias
dan di sebelah timur berbatasan dengan daerah kediaman masyarakat mayoritas
melayu yaitu wilayah Medan dan Deli. Sedangkan di sebelah selatan berbatasan
dengan daerah Sumatera Barat.
Danau Toba sebagai simpul pemersatu Tano Toba
berada pada ketinggian 900m di atas permukaan laut. Danau Toba terbentuk dari
bekas kawah letusan gunung berapi yang kemudian dipenuhi oleh air. Danau Toba
adalah salah satu kebanggaan masyarakat Batak sebagai danau terbesar di kawasan
Asia Tenggara dengan pemandangannya yang menawan di sekitar danau. Terdapat
sebuah pulau di tengah-tengah Danau Toba yang dinamakan Pulau Samosir (menurut
sejarah sesungguhnya dahulu tidak benar-benar terpisah dengan dataran
disekeliling Danau Toba artinya tidak benar-benar sebuah pulau).
Masyarakat yang menamakan dirinya Bangso Batak
ini meliputi sekitar +6 juta populasi (sensus tahun 2000, hmmm sudah lama juga
ya tidak ada sensus lagi), terdiri dari 6 sub suku Batak yaitu Batak Karo,
Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Angkola dan Batak Mandailing.
Kumpulan masyarakat ini disatukan oleh kesamaan dalam hal bahasa, adat istiadat
dan juga kepercayaan bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang yang sama
yaitu si Raja Batak. Mata pencaharian sebagai petani baik petani sawah dan
ladang merupakan mata pencaharian utama mereka disamping mata pencaharian
lainnya seperti pedagang, tenaga pengajar, pelaku seni, dlsb. Agama yang dianut
oleh masyarakat Batak adalah Kristen, Islam, Hindu dan Budha serta aliran
kepercayaan yang masih tetap dianut oleh sebagian kecil masyarakat hingga saat
ini.
Masyarakat Batak merupakan masyarakat perantau
yang diwarisi dengan sifat pekerja keras, berani, jujur dan pantang menyerah.
Keinginan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik selalu ditanamkan kepada
generasi muda sehingga demi mencapai impian, seorang pemuda atau pemudi batak
harus bersedia meninggalkan kampung halaman tercinta untuk merantau ke
negeri/daerah orang yang jauh. Akan tetapi kerinduan akan kampung halaman masih
akan selalu melekat di hati. Tak heran saat ini banyak orang Batak yang
berhasil dan sukses tersebar di seluruh penjuru dunia.
B.
Identitas Suku Batak
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad
ke-20 di Sumatera bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan
social koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi social di daerah itu
hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan atau
antar kampung. Hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari
satuan-satuan social dan politik yang lebih besar. Pendapat lain mengemukakan,
bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi
pada masa zaman colonial. J. Pardede mengemukakan bahwa bahwa istilah “Tanah
Batak” dan “Rakyat Batak” diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya Siti Omas
Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum
kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya
sebagai Batak dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok
tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan bahwa
Pusuk Buhit salah satu puncak di barat Danau Toba adalah tempat kelahiran
bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek
moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun
dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi
keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatera. Penelitian penting tentang
tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan
transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting.
Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di
Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat
Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari
bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke
pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad
ke-14 untuk menguasai Barus.
C. Unsur- Unsur Kebudayaan Suku Batak
1. Sistem Religi
a. Kepercayaan Asli Suku Batak
Kepercayaan yang dianut suku batak sebelum mengenal
agama protestan dan islam adalah kepercayaan bahwa alam semesta beserta isinya
diciptakan oleh Debata Mula Jadi Na Bolon dan bertempat tinggal diatas langit,
bahkan pada masyarakat daerah pedesaan belum meninggalkan kepercayaan tercebut. mereka
mempunyai system kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki
kekuasaan diatas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Ø
Menyangkut jiwa
dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu :
1). Debata Mula Jadi Na Bolon : bertempat tinggal diatas langit dan merupakan
maha pencipta;
2). Siloan Na Bolon : berkedudukan
sebagai penguasa dunia makhluk halus. Dalam hubungannya dengan roh dan jiwa. Orang Batak mengenal tiga konsep yaitu :
a) tondi(adalah jiwa
atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa
kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.bila tondi
meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal,
maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.)
b) jiwa
c) roh
3). Sahala : jiwa atau roh kekuatan
yang dimiliki seseorang, semua orang memiliki tondi,tetapi tidak semua orang
memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki
para raja atau hula-hula.
4). Begu : tondinya orang yang sudah
mati, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada
waktu malam. Orang batak juga percaya akan kekuatan sihir dari jimat yang
disebut tongkal.
b. Parmalim
Istilah Parmalim merujuk
kepada penganut agama Malim. Agama Malim yang dalam bahasa Batak disebut Ugamo
Malim adalah bentuk moderen agama asli suku Batak. Agama asli Batak tidak memiliki nama sendiri, tetapi pada
penghujung abad kesembilan belas muncul sebuah gerakan anti kolonial. Pemimpin
utama mereka adalah Guru Somalaing Pardede. Agama Malim pada hakikatnya
merupakan agama asli Batak, namun terdapat pengaruh agama Kristen, terutama Katolik, dan juga pengaruh agama Islam.
Agama ini
tidak mengenal Surga atau sejenisnya,sepeti agama umumnya, selain Debata Mula
jadi Na Bolon (Tuhan YME) dan Arwah-arwah leluhur, belum ada ajaran yang pasti
reward atau punisnhment atas perbuatan baik atau jahat, selain mendapat berkat
atau dikutuk menjadi miskin dan tidak punya turunan. Tujuan upacara agama ini
memohon berkat Sumangot dari Debata Mula jadi Na bolon (Tuhan YME), dari
Arwah-arwah leluhur, juga dari Tokoh-tokoh adat atau kerabat-kerabat adat yang
dihormati, seperti Kaum Hula-hula (dari sesamanya). Agama ini lebih condong ke
paham Animisme. Agama ini bersifat tertutup, masih hanya untuk suku Batak,
karena upacara ritualnya memakai bahasa Batak, dan setiap orang harus punya
marga, tidak beda dengan agama-agama suku-suku animisme dibelahan bumi lainnya,
sifatnya tidak universal.
Tuhan dalam
kepercayaan Malim adalah "Debata Mula Jadi Na Bolon" (Tuhan YME)
sebagai pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang
disembah oleh "Umat Ugamo Malim" ("Parmalim"). Agama Malim
terutama dianut oleh suku Batak Toba di provinsi Sumatera Utara. Sejak dahulu kala terdapat beberapa kelompok Parmalim namun
kelompok terbesar adalah kelompok Malim yang berpusat di Huta Tinggi, Kecamatan Lagu Boti, Kab. Toba Samosir. Hari Raya utama Parmalim disebut Si Pahasada (yaitu '[bulan]
Pertama') serta Si Pahalima (yaitu '[bulan] Kelima) yang secara meriah
dirayakan di kompleks Parmalim di Huta Tinggi.
Pada abad 19
agama Islam masuk daerah penyebarannya meliputi batak selatan. Masyarakat Batak tidak pernah mengenal
Islam sebelum disebarkan oleh para pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha
dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan menikah dengan perempuan
Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatkan pemeluk Islam di
tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa perang Paderi di awal abad ke-19,
pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman
besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi
atas tanah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada
akhirnya mereka menganut agama Kristen Protestan. Kerajaan Aceh di utara, juga
banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara
Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat Melayu di pesisir
Sumatera Timur.
d.
Misionaris Kristen
Agama
Kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebarannya meliputi batak utara. Pada tahun 1824, dua misionaris
baptis asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari
Sibolga menuju pedalaman Batak. Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di
dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari
penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas
kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834 kegiatan ini diikuti oleh Henry
Lyman dan Samuel Manson dari dewan komisaris Amerika untuk misi luar negeri.
Pada tahun 1850, dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner Van Der Tuuk
untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak-Belanda. Hal ini
bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman
berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran
pengkristenan mereka.
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun
1861 dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig
Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke
bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab
Perjanjian Lama diselesaikan oleh P.H. Johannsen pada tahun 1891. Teks
terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun1893. Menurut
H.O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku dan terdengar aneh
dalam bahasa Batak.
Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Kristen dengan cepat dan pada awal abad
ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya. Pada masa ini
merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak orang
Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan colonial.
Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir
pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII
wafat.
e. Gereja HKBP
Gereja
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan
September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan
pelatihan keperawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941.
Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.
2. Sistem Kekerabatan
a.
Sistem Harajoan
Harajoan dapat didefiniskan pola kepemimpinan dan sistem
kemasyarakatan dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba. Sistem Harajoan
berlaku pada dua level organisasi sosial masyarakat Batak Toba, yaitu suku dan
kampung atau Huta.
Harajoan tidak hanya berkaitan dengan pengorganisiran para anggota suku maupun
huta, tetapi juga mengatur mengenai luas teritori dan pola serta
otorisasi kepemimpinan dalam suatu suku dan huta.
Dalam sistem Harajoan, kepemimpinan dalam satu suku
dinamakan Raja Maropat. Posisi Raja Maropat ini erat kaitannya dengan kelompok
kekerabatan yang disebut marga. Hal ini terkait juga dengan mitologi suku Batak
yang meyakini bahwa seluruh orang Batak dari berbagai sub suku adalah keturunan
Si Raja Batak yang kemudian melahirkan banyak keturunan. Keturunan Si Raja
Batak inilah yang mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok tertentu guna
memperjelas identitas genealogis mereka. Kelompok-kelompok itulah yang disebut
marga. Penentuan pemimpin dalam kelompok suku itu berdasarkan pada silsilah
marga atau tarombo dari masing-masing anggota suku. Bila berdasarkan
tarombo tersebut ada seseorang yang silsilahnya mendekati garis keturunan
terdekat dari Si Raja Batak, maka orang itu dapat diangkat sebagai pemimpin.
Ketika beberapa suku telah sepakat untuk tinggal
bersama dalam suatu daerah, maka di daerah tersebut akan didirikan suatu
kampung atau huta. Huta dapat didefinisikan sebagai persekutuan terkecil
masyarakat Batak (Vergouwen, 1986). Huta dipimpin oleh seorang Raja Huta.
Biasanya yang dipilih oleh penduduk huta untuk menjadi Raja Huta adalah pendiri
huta yang bersangkutan.
Makin lama huta makin dipenuhi oleh penduduk dari
berbagai suku di Batak Toba. Akhirnya beberapa penduduk pindah dan membentuk
huta baru. Hasilnya, banyak terbentuk huta di daerah kebudayaan Batak
Toba. Beberapa diantara huta tersebut kemudian membentuk federasi atau
persekutuan guna mewujudkan tujuan bersama diantara mereka. Persekutuan
tersebut dinamakanHorja. Horja dipimpin oleh seorang Raja Horja yang
dipilih dari para raja huta yang bergabung dalam federasi horja. Namun
pemilihan Raja Horja ini tidaklah melalui voting, melainkan musyawarah secara
terbuka.
Musyawarah untuk mufakat pun menjadi bagian dari
perencanaan pendirian huta baru. Di tingkat huta, ada mekanisme musyawarah
yang membahas niat beberapa suku untuk mendirikan satu perkampungan atau
huta baru. Mekanisme tersebut tonggo raja atau marria raja. Dalam tonggo raja, setiap raja suku ataupun penduduk berhak
menyampaikan aspirasinya masing-masing. Musyawarah tersebut membahas
persetujuan suku-suku lain terhadap pembangunan huta baru. Apabila hasil dari
musyawarah itu tidak memberikan peluang bagi terbentuknya huta baru, maka
pendirian huta harus dibatalkan atau ditunda. Pihak yang merasa keberatan
dengan hasil musyawarah dapat menyampaikan aspirasinya ke tingkat horja untuk
dibahas kembali. Tampak adanya mekanisme banding seperti yang terdapat pada
pranata hukum modern.
Dalam huta maupun horja tidak ada pranata yang
mengatur aspek religiusitas masyarakat Batak Toba. Aspek religiusitas baru
dikelola dalam suatu lembaga yang secara struktural lebih tinggi dari horja.
Lembaga itu adalah Bius. Bius merupakan perserikatan yang terdiri dari
kelompok-kelompok marga yang ada di beberapa horja. Perserikatan
bius ini dipimpin oleh raja bius yang terdiri dari terdapat empat orang (raja na opat),
yaitu Raja Parmalim (religi), Raja Adat (hukum adat), Raja Parbaringin (sosial,
politik dan keamanan), Raja Bondar (ekonomi). Raja Parmalim merupakan bagian
dari Raja Bius yang memiliki otoritas dibidang agama, dalam hal ini agama
Parmalim (agama asli Batak). Masing-masing dari Raja bius itu dipilih
oleh wakil-wakil dari kelompok marga. Raja Parbaringin, misalnya, dipilih
oleh penduduk dari tiap-tiap marga dalam bius melalui suatu musyawarah.
Terdapat hal menarik dari bius. Dalam lembaga tersebut
ada pemimpin perempuan yang disebutPaniaran. Panjaran berfungsi sebagai “penyambung lidah”
kaum perempuan dalam bius. Paniarandapat diistilahkan pula sebagai cerminan keterwakilan perempuan
dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat luas
(khususnya kaum perempuan) di tingkat bius.
Orang Batak menganut prinsip
keturunan patrilineal (garis keturunan laki-laki). Kelompok kekerabatan yang
terkecil ialah keluarga batih atau rips(Toba), jabu (Karo).
Suatu kelompok kekerabatan yang besar pada orang Toba disebut marga,
orang Karo menyebutnya merga.
Di dalam masyarakat Batak, ada suatu
hubungan antara kelompok-kelompok kekerabatan yang mantap. Kelompok kerabat
tempat istrinya berasal disebut hula-hula pada Batak
Toba atau kalimbubu pada Batak Karo. Keluarga penyunting gadis
disebut beru atau boru. Keluarga pihak
laki-laki atau perempuan yang sedarah disebut senina atau sabutuha.
Suat upacara adat, misalnya pesta perkawinan dan kematian, tidaklah sempurna
kalau ketiga kelompok tersebut tidak hadir.
Perkawinan pada masyarakat Batak
merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat laki-laki dan perempuan.
Perkawinan mengakibatkan terbentuknya hubungan antara keluarga laki-laki
( peranak = Toba, sinereh = Karo) dan kaum si
kerabat wanita (parbobu = Toba, sinereh = Karo).
Itulah sebabnya, menurut adat lama, seorang laki-laki tidak bebas tidak bebas
memilih jodohnya. Perkawinan yang dianggap ideal bila seorang laki-laki
mengambil salah seorang putri saudara laki-laki ibunya sebagai istri. Seorang
pria atau wanita tidak boleh kawin dengan orang semarga, karena orang semarga
dianggap bersaudara. Sistem perkawinan semacam itu disebut asimetrikkonobium.
b. Perkawinan
Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak
yang berbeda klan sehingga jika ada yang menikah dia harus encari pasangan
hidup dari marga lain selain marganya. Apabila yang menikah adalah seseorang
yang bukan dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak
(berbeda klan). Acara Tersebut dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang
dilakukan di gereja karena mayoritas penduduk Batak beragama Kristen. Untuk
mahar perkawinan-saudara mempelai wanita yang sudah menikah.orang Batak
biasanya mengharuskan untuk menikah dengan paribannya,
menurut mereka hal ini dilakukan agar garis ketrunannya tidak
terputus.Pariban adalah sebutan untuk orang yang memiliki ibu yang marganya
sama dengan wanita yang akan dijadikan istrinya.
3.
Sistem mata
pencaharian
Sebagian besar masyarakat Batak Toba
saat ini bermatapencaharian sebagai petani, peladang, nelayan, pegawai,
wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang
banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti usaha
penenunan ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat ini sudah cukup banyak juga
yang memulai merambah ke bidang usaha jasa. Masyarakat tradisional Batak Toba
bercocok tanam padi di sawah dan juga mengolah ladang secara berpindah-pindah.
Pengelolaan tanaman padi di sawah banyak terdapat di daerah selatan Danau Toba.
Hal ini disebabkan oleh daerah
tersebut adalah dataran yang landai dan terbuka sehingga memungkinkan untuk
bercocok tanam padi di sawah. Sedangkan ladang banyak terdapat di daerah utara
(Karo, Simalungun, Pakpak, dan Dairi). Kawasan ini berhutan lebat dan tertutup
serta berupa dataran tinggi yang sejik sehingga mengakibatkan lahan ini lebih
memungkinkan untuk pengolahan ladang. Jika anda mendengar daerah Karo sebagai
peghasil sayuran dan buah yang potensial, ini adalah salah satu dampak positif
yang dihasilkan oleh keberadaan bentuk lahan tersebut.
Sebelum teknologi pengolahan pangan
mencapai daerah tano Batak, hasil pengolahan tanaman padi di sawah hanya dapat
menghasilkan panen satu kali dalam satu tahun. Hal ini disebabkan oleh
pengolahan tanah yang tidak begitu baik, irigasi yang terbatas dan juga tanpa
penanganan tanaman yang terampil. Demikian halnya dengan hasil pengolahan
tanaman di ladang, hanya dapat menghasilkan panen satu hingga dua kali saja
lalu kemudaian lahan tidak dapat digunakan lagi. Kemudian ladang tersebut akan
ditinggalkan dan berpindah ke ladang yang baru. Dahulu kala,pembukaan ladang
yang baru dimulai dengan pemilihan lahan melalui ritual bersama seorang datu
(dukun) yang disebut parma-mang. Lahan yang biasanya dijadikan ladang adalah
lahan yang tidak ditempati atau kawasan hutan alami yang belum dijamah oleh
manusia. Kemudian lahan tersebut dibersihkan dengan cara dibakar. Upacara
selanjutnya adalah memberikan sesaji kepada penunggu lahan agar tidak
mengganggu pengolah ladang dan juga sekaligus sebagai upacara pemilihan hari
baik untuk mulai menanam. Selama musim pembukaan lahan ini, masyarakat kampung
dilarang untuk keluar-masuk kampung. Hal ini dilakukan untuk menghindari mala
petaka dan bahaya yang mungkin terjadi karena penunggu lahan yang merasa
terusik. Sekarang keberadaan datu ini
sudah tidak menjadi dominan lagi, akan tetapi kebiasaan membuka lahan baru ini
masih tetap ada. Tanaman yang sering
ditanam di ladang ini adalah tebu, tanaman obat, ubi, sayu-sayuran dan
mentimun.
Demikian juga pohon aren yang sengaja ditanam
di tengah ladang untuk menghasilkan tuak, sejenis minuman beralkohol, yang
menjadi kesukaan masyarakat Batak. Ada pula beberapa komoditi unggulan yang
menjadi kelebihan suatu daerah. Seperti hasil panen utama dari daerah
Simalungun dan Mandailing adalah jagung dan ubi kayu, serta beragam sayuran. Dari
daerah Pakpak yang menjadi komoditi unggulannya adalah kemenyan dan kapur
barus. Bayangkan betapa kayanya tano Batak ini.
Saat ini masyarakat Batak sudah banyak
yang mengolah padi hibrida di sawah mereka, tentunya orang Batak tidak mau
ketinggalan dari yang lainnya. Satu kemajuan ini bagi orang Batak. Beralih
kepada masa pengaruh perkembangan ekonomi terhadap pertanian di tanah Batak.
Pengaruh perkembangan perekonomian tersebut mulai terlihat ketika penjajah
memasuki daerah Tano Toba. Produksi tanaman padi dan hasil ladang meningkat
pesat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan pangan untuk para pekerja
kuli yang datang memasuki daerah Tano Toba. Pekerja kuli ini didatangkan dari
semenanjung Malasya (mayoritas china) dan juga daerah Jawa, karena masyarakat
lokal tidak bersedia menjadi pekerja untuk penjajah. Pada tahun-tahun pertama
masa pendudukan penjajahan, pejabat kolonial telah membangun sistem
transportasi yang menggunakan tenaga para pekerja kuli tersebut.
Untuk mendukung peningkatan produktivitas
tanaman padi di sawah, pejabat kolonial menyediakan lahan yang akan diolah
untuk menanam padi dan juga memperbaiki saluran irigasi. Beberapa tahun
kemudian dilaksanakan percobaan penanaman tanaman yang berasal dari Eropa
seperti kentang dan kol di daerah dataran tinggi Karo. Masyarakat menyambut
baik usaha ini. Hasil produk pertanian yang ada dapat diekspor hingga ke luar
negeri(Penang dan Singapura). Sejumlah besar petani kecil di daerah bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Tapanuli kemudian juga turut mencoba
mengelola jenis tanaman yang sama. Selain tanaman sayuran, diadakan juga
percobaan penanaman tanaman perkebunan yang menjadi cikal bakal pengembangan kawasan
perkebunan di Tano Toba. Pada umumnya
masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang
dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak
(tenggala dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit
(sabi-sabi) atau ani-ani.
Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap keluarga
mendapat tanah tadi , tetapi tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat
adapaun tanah yang dimiliki perseorangan. Peternakan juga salah satu mata
pencaharian suku Batak antara lain peternakan kerbau, sapi, babi, kambing,
ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar danau
Toba. Sektor kerajinan yang berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran
kayu, tembikar, yang ada kaitannya dengan pariwisata.
4.
Sistem bahasa
Dalam, kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang batak menggunakan
beberapa logat, ialah : logat karo (yang dipakai oleh
orang Karo), logat pakpak (yang dipakai oleh Pakpak), logat simalungun (yang
dipakai oleh Simalungun), logat toba ( Yang dipakai oleh orang Toba, Angkola
dan Mandailing)
a. Aksara Suku Batak
Orang Batak adalah salah satu suku
dari sedikit suku di Indonesia yang memiliki aksara sendiri yaitu aksara Batak.
Walaupun masing-masing sub suku Batak juga memiliki jenis huruf yang
berbeda-beda akan tetapi kemiripan masing-masing huruf tersebut masih dapat
dimengerti oleh masing-masing sub suku lainnya. Bahasa yang digunakan oleh
masyarakat Batak juga mememiliki kemiripan antara satu sub suku dengan sub suku
lainnya. Sehingga tidak mengherankan apabila satu orang Batak dapat menguasai
beberapa jenis bahasa Batak sekaligus. Dari struktur penyusunan dan pengucapan
bahasa, terdapat 2(dua) kelompok utama: bahasa Toba serta logat Angkola dan
Mandailing yang serumpun (kelompok bahasa selatan); bahasa Karo, bersama logat
Dairi dan Pakpak yang serumpun(kelompok bahasa utara). Sedangkan bahasa yang
dipakai di Simalungun merupakan perpaduan kedua kelompok bahasa tersebut di
atas. Dari keenam sub suku yang ada bahasa Batak Toba adalah bahasa yang paling
banyak digunakan. Dalam beberapa hasil penelitian disebutkan bahwa bahasa
maupun tulisan aksara Batak banyak mendapat pengaruh dari India yaitu bahasa
Sanskerta. Pengaruh tersebut diyakini masuk melalui kebudayaan Hindu Jawa atau
Hindu Sumatera. Sebagai contoh dalam bahasa Batak Toba, purba diartikan sebagai
arah mata angin utara demikian halnya dalam bahasa sansekerta India. Entah
dimana letak kebenarannya, apakah orang Batak adalah penerus dari orang India
yang bermigarasi ke Tano Toba atau sebaliknya, saat ini belum ada kesimpulan
yang pasti untuk itu.
Aksara Batak Toba terbagi atas dua
bagian besar yaitu suku kata dasar yang dibentuk oleh penggalan suku-suku kata
yang diakhiri dengan huruf vokal a, misalnya ha, ka, ba, pa, dll. Kelompok
huruf seperti ini dikenal sebagai ina ni surat atau indung surat. Kelompok
huruf lainya disebut sebagai anak ni surat yaitu imbuhan yang membentuk
penggalan suku kata gabungan yang tidak terdapat pada suku kata dasar seperti
e, i, u, o, eng, ing, ang, ung, ong,dll. Dalam penulisan aksara Batak Toba
terdapat aturan-aturan yang menggabungkan antara ina ni surat dan anak ni surat
sehingga membentuk sebuah kata dan kalimat yang memiliki arti. Secara umum
pembagian ini juga ada dalam aksara sub suku Batak lainnya.
Dalam bidang satra, dapat ditemukan beberapa
jenis hasil karya sastra yang berkembang dalam masyarakat Batak Toba,
diantaranya adalah mitos, sajak, mantera-mantera, doa dukun
(tonggo-tonggo),pantun nasihat/umpasa-umpasa, senandung/ andung-andung serta
teka-taki/huling-hulingan atau hutinsa serta beragam turi-turian/ cerita
rakyat. Dari sekian banyak mitos dan turi-turian/ cerita rakyat yang berkembang
di masyarakat, kisah yang paling banyak dikenal adalah kisah penciptaan manusia
pertama yang diyakini berasal dari turunan Debata Mulajadi Na Bolon. Dikisahkan
Debata Mulajadi Na Bolon adalah dewa tertinggi dalam mitologi Batak. Bersama
dengan dewa-dewi lainnya ia menciptakan tiga tingkat dunia yaitu Banua Ginjang,
Banua Tonga, dan Banua Toru. Istrinya yang bernama Manuk Patiaraja melahirkan
tiga butir telur yang kemudian menetas menjadi 3 orang anak Debata Mulajadi Na
Bolon yaitu Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan. Batara Guru berkedudukan
di Banua Ginjang. Soripada berkedudukan di Banua Tonga dan Mangala Bulan
berkedudukan di Banua Toru. Ketiganya dikenal sebagai kesatuan dengan nama
Debata Sitolu Sada (Tiga Dewa Dalam Satu) atau Debata Na Tolu (Tiga Dewata).
Dikisahkan pula Debata Mulajadi Na Bolon kemudian mengirimkan putrinya Tapionda
ke bumi tepatnya ke kaki Gunung Pusuk Buhit. Tapionda kemudian menjadi ibu raja
yang pertama di tanah Batak yaitu si Raja Batak. Ini adalah salah satu mitos
yang dipercayai oleh orang Batak dari sekian banyak mitos yang diturunkan oleh
nenek moyang orang Batak kepada para penerusnya.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kata atau
istilah debata berasal dari bahasa Sansekerta (India) yang mengalami
penyesuaian dialek Batak. Karena dalam dialek Batak tidak mengenal huruf c, y,
dan w sehingga dewata berubah menjadi debata atau nama Carles dipanggil Sarles,
hancit (sakit) dipanggil menjadi hansit.
Dari pengamatan penulis, setiap kata atau istilah
Sansekerta yang memiliki huruf w, kalau masuk ke dalam Bahasa Batak akan
diganti menjadi huruf b, atau huruf yang lain.
Ø
Istilah-istilah
Sansekerta yang diserap dalam bahasa Batak:
·
Purwa ;
Prba ; Timur
·
Wajawia ; Manabia ; Barat Laut
·
Wamsa ; Bangso ; Bangsa
·
Pratiwi
; Portibi ; Pertiwi
·
Swara ;
Soara ; Suara
·
Swarga
; Surgo ; Surga
·
Tiwra ;
Simbora ; Perak
b.
Salam Khas Batak
1)
Pakpak
“Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2)
Karo
“Mejuah-juah Kita Krina!”
3)
Toba
“Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4)
Simalungun
“Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5)
Mandailing
dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
|
1. Pakpak
“Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo
“Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba
“Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4.
Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5.
Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua
Bulung!”
5.
Sistem Kesenian
Seni Tari khas Suku Batak yaitu:
Tari Tor-Tor (bersifat magis), Tari Serampang dua belas (bersifat hiburan).
Alat musik khas Suku Batak yaitu: Musik gondang.
Orang Batak dikenal dengan sebagai masyarakat
pecinta seni dan musik. Hampir semua sub suku memiliki jenis kesenian yang unik
dan berbeda dari sub suku lainnya. Kesenian orang Batak Toba sendiri cukup
beragam mulai dari tarian, alat musik dan jenis-jenis nyanian. Tarian yang
menjadi ciri khas orang Batak Toba adalah tari Tor-tor dengan berbagai jenis
nama tari untuk berbagai jenis kegiatan yang berbeda-beda. Tor-tor atau tari-menari
merupakan salah satu kebudayaan Batak yang tertua. Dahulu kala seni tari-menari
duhubungkan dengan kepercayaan animisme yang dapat mendatangkan kuasa-kuasa
magis. Acara tari-menari diadakan untuk memohon kemenangan, kesehatan, dan
kehidupan sejahtera kepada dewa-dewa. Acara tari-menari juga diadakan bilamana
ada orang yang lahir, akil balig dan diterima sebagai anggota suku, pada saat
menikah, dan pada waktu sudah mati. Namun sekarang tarian tersebut tidak lagi
bersifat animisme, tetapi lebih dimaksudkan untuk mempererat hubungan
kekerabatan dalam Dalihan Na Tolu.
Ø
Tari Tor-Tor Khas Suku Batak
Tor-tor adalah tarian
seremonial yang disajikan dengan musik gondang. Walaupun secara fisik tortor
merupakan tarian, namun makna yang lebih dari gerakan-gerakannya menunjukkan
tor-tor adalah sebuah media komunikasi, dimana melalui gerakan yang disajikan
terjadi interaksi antara partisipan upacara. Tor-tor dan musik gondang ibarat
koin yang tidak bisa dipisahkan.
Gambar : Tari Tortor
Gambar : Tari Tortor
|
“Amang pardoal pargonci…….
“Alu-aluhon ma jolo tu omputa Debata Mulajadi Nabolon, na Jumadihon nasa adong, na jumadihon manisia dohot sude isi ni portibion.” “Alu-aluhon ma muse tu sumangot ni omputa sijolo-jolo tubu, sumangot ni omputa paisada, omputa paidua, sahat tu papituhon.” “Alu-aluhon ma jolo tu sahala ni angka amanta raja na liat nalolo.” |
Setiap selesai
satu permintaan selalu diselingi dengan pukulan gondang dengan ritme tertentu
dalam beberapa saat. Setelah ketiga permintaan atau seruan tersebut
dilaksanakan dengan baik maka barisan keluarga suhut yang telah siap manortor
(menari) mengatur susunan tempat berdirinya untuk memulai menari. Kembali juru
bicara dari hasuhutan memintak jenis gondang, satu persatu jenis lagu gondang,
( ada 7 jenis lagu Gondang) yang harus dilakukan Hasuhutan untuk mendapatkan
(tua ni gondang). Para melakukan tarian dengan semangat dan sukacita. Adapun
jenis permintaan jenis lagu yang akan dibunyikan adalah seperti : permohonan
kepada Dewa dan pada ro-roh leluhur agar keluarga suhut yang mengadakan acara
diberi keselamatan kesejahteraan, kebahagiaan, dan rezeki yang berlimpah ruah,
dan upacara adat yang akan dilaksanakan menjadi sumber berkat bagi suhut dan
seluruh keluarga, serta para undangan.Sedangkan gondang terakhir yang
dimohonkan adalah gondang hasahatan. Didalam Menari banyak pantangan yang tidak
diperbolehkan, seperti tangan sipenari tidak boleh melewati batas setinggi bahu
keatas, bila itu dilakukan berarti sipenari sudah siap menantang siapapun dalam
bidang ilmu perdukunan, atau adu pencak silat, atau adu tenaga batin dan lain
lain. Selain
menari orang Batak juga sangat senang menyanyi, baik secara perorangan, maupun
berkelompok. Lagu-lagu yang dinyanyikan bercerita tentang pemujaan terhadap
kampung halaman, keindahan negeri dan panorama yang indah permai. Sedangkan
andung atau ratapan adalah salah satu jenis nyanyian yang secara khusus
dinyanyikan pada acara dukacita atau menggambarkan suasana hati yang sedang
berduka dan sedih. Sebagai contoh,alat musik Batak Toba yang digunakan untuk
mengiringi tarian tor-tor dan nyanyian juga beranekaragam. Alat musik ini ada
yang terbuat dari bahan perunggu, kulit, kayu, dan bambu. Alat musik berbahan
perunggu seperti ogung atau gong. Ogung merupakan instrumen 4 jenis gendang
yang berlainan bunyi/nada, yaitu oloan, ihutan, doal, dan panggora. Sedangkan
alat musik dari bahan kulit, kayu dan bambu meliputi tagading, hesek, hasapi
(kecapi), saga-saga, garantung, suling (seruling), sordam dan salohat. Alat
musik tagading merupakan seperangkat instrumen yang terdiri dari 1 gondang
sebagai bas, 1 odap-odap dan 5 tagading. Orang Batak Toba juga membedakan
peralatan musik ini dalam dua golongan besar yaitu Gondang Bolon (terdiri dari
gordang(gendang besar), taganing(gendang ukuran sedang) dengan lima lempeng
kayu, odap-odap(gendang kecil) yang kadang-kadang diganti dengan lempengan
logam, gong dari tembaga ditambah empat gong perunggu, dan sarune(seruling))
dan Gondang Hasapi (terdiri dari 2 buah hasapi, sarune kecil, suling(seruling),
garantung(bumbung kecil) dengan lima lempeng kayu sebagai pengganti taganing).
Ø Alat Musik Margondang Khas Suku Batak
1)
Margondang Pada Masa Purba
Yang dimaksud dengan Masa purba adalah masa dimana sebelum masuknya pengaruh agama Kristen ketanah batak, dimana pada saat itu masih menganut aliran kepercayaan yang bersifat polytheisme.Pada masa purba penggunaan gondang dalam konteks hiburan maupun pertunjukan belum didapati masyarakat . Keseluruhan kegiatan di tujukan untuk upacara adat maupun upacara religi yang bersifat sakral. Oleh karena itu upacara margondang pada masa purba dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu :
a)
Margondang adat, yaitu suatu upacara
yang menyertakan gondang, merupakan akualisasi dari aturan-aturan yang
dibiasakan dalam hubungan manusia dan manusia (hubungan horizontal), misalnya :
gondang anak tubu (upacara anak yang baru lahir), gondang manape goar (upacara
pemberian nama/ gelar boru kepada seseorang), gondang pagolihan anak
(mengawinkan anak), gondang mangompoi huta (peresmian perkampungan baru),
gondang saur matua (upacara kematian orang yang sudah beranak cucu) dan
sebagainya.
b)
Margondang religi, yaitu upacara yang menyertakan gondang, merupakan akualisasi dari suatu
kepercayaan tau keyakinan yang dianut dalam hubungan manusia dengan tuhan-nya
atau yang disembahnya (hubungan vertikal), misalnya : gondang saem (upacara
untuk meminta rejeki), gondang mamele, (upacara pemberian sesajen kepada roh),
gordang papurpur sapata (upacara pembersihan tubuh/ buang sial) dan sebagainya.
Walaupun upacara
margondang masa purba dibagi ke dalam dua bagian, namun hubungan dengan adat
dan religi dalam suatu upacara selalu kelihatan dengan jelas. Hal tersebut
dapat dilihat dari tata cara yang dilakukan pada setiap upacara adat yang
selalu menyertakan unsur religi dan juga sebaiknya pada setiap upacara religi
yang selalu menyertakan unsur adat. Unsur religi yang terdapat dalam upacara
adat dapat dilihat dari beberapa aspek yang mendukung upacara tersebut,
misalnya : penyertaan gondang, dimana dalam setiap pelaksanaan gondang selalu
diawali dengan membuat tua ni gondang ( memainkan inti dari gondang), yaitu
semacam upacara semacam meminta izin kepada mulajadi nabolon dan juga kepada
dewa-dewa yang dianggap sebagai pemilik gondang tersebut. Sedangkan unsur adat
yang terdapat dalam upacara religi dapat dilihat dari unsur dalihan na tolu
yang selalu disertakan dalam pada setiap upacara. Menurut Manik, bahwa pada
mulanya agama dan adat etnik Batak Toba mempunyai hubungan yang erat, sehingga
tiap upacara adat sedikit banyaknya bersifat keagamaan dan tiap upacara agama
sedikit banyaknya diatur oleh adat (1977: 69).
Walaupun hubungan dari kedua adat dan religi selalu kelihatan jelas dalam pelaksanaan suatu upacara, perbedaaan dari kedua upacara tersebut dapat dilihat dari tujuan utama suatu upacara dilaksanakan. Apabila suatu upacara dilaksanakan untuk hubungan manusia yang disembahnya, maka upacara tersebut di klasifikasikan kedalam upacara religi. Apabila suatu upacara dilakukan untuk hubungan manusia dengan manusia , maka upacara tersebut dapat di klasifikasikan ke dalam upacara adat.
Walaupun hubungan dari kedua adat dan religi selalu kelihatan jelas dalam pelaksanaan suatu upacara, perbedaaan dari kedua upacara tersebut dapat dilihat dari tujuan utama suatu upacara dilaksanakan. Apabila suatu upacara dilaksanakan untuk hubungan manusia yang disembahnya, maka upacara tersebut di klasifikasikan kedalam upacara religi. Apabila suatu upacara dilakukan untuk hubungan manusia dengan manusia , maka upacara tersebut dapat di klasifikasikan ke dalam upacara adat.
2) Margondang pada Zaman
Sekarang
Margondang pada masa
sekarang merupakan perkembangan dari cara berpikir masyarakat setelah pengaruh
gereja sudah sangat kuat pada masyarakat Batak Toba.Dalam ajaran Kristiani,
gereja hanya mengakui satu Tuhan yang harus disembah yaitu Tuhan Yesus Kristus,
apabila ada anggota gereja masih melakukan penyembahan terhadap roh roh nenek
moyang dan kepercayaan mereka yang lama, maka orang tersebut aka dikeluarkan
dari anggota gereja tersebut. Oleh karena itu,muncul beberapa masalah yang
bersifat problematic tentang penggunaan gondang batak dalam kegiatan adat
maupun keagamaan .
Di satu pihak orang
Batak ingin mempraktikkan dan menghayati gondang itu menurut visi dan tradisi
yang sudah sangat mendarah daging, dilain sisi ada kelompok yang menolak
gondang untuk dipergunakan dalam upacara adat maupun keagamaan, karena mereka
melihat unsur-unsur animism pada gondang tersebut , ada ketakutan mereka
mempelajari sejarah batak dan menghidupi unsur-unsur kebudayaannya. Ketakutan
ini timbul karena adanya predikat yang kurang baik sepeti kafir, kolot da
tuduhan lain yang diberikan penganut kebudayaan tersebut. Pada bagian yang lain
ada juga kelompok agama tradisional pada masyarakat Batak Toba yang menentang
ajaran Kristen.
Ø Konsep Margondang pada masa sekarang dapat dibagi dalam tiga bagian besar,
yaitu :
a. Margondang pesta, suatu kegiatan yang
menyertakan gondang dan merupakan suatu ungkapan kegembiraan dalam konteks
hibuan atau seni pertunjukkan, misalnya : gondang pembangunan gereja, gondang
naposo, gondang mangompoi jabu (memasuki rumah) dsb.
b. Margondang adat, suatu kegiatan yang
menyertakan gondang, merupakan aktualisasi dari system kekerabatan dalihan na
tolu, misalnya : gondang mamampe marga (pemberian marga), gondang pangolin anak
(perkawinan), gondang saur matua (kematian), kepada orang diluar suku Batak
Toba, dsb.
Gambar 5 : Tari Tortor dan Margondang saat pesta pernikahan
Gambar 5 : Tari Tortor dan Margondang saat pesta pernikahan
c. Margondang Religi, upacara ini pada saat sekarang hanya dilakukan oleh organisasi agamaniah
yang masih berdasar kepada kepercayaan batak purba. Misalnya parmalim,
parbaringin, parhudamdam Siraja Batak. Konsep adat dan religi pada setiap
pelaksanaan upacara oleh kelompok ini masih mempunyai hubungan yang sangat erat
karena titik tolak kepercayaan mereka adalah mulajadi na bolon dan segala
kegiatan yang berhubungan dengan adat serta hukuman dalam kehidupan sehari-hari
adalah berdasarkan tata aturan yang dititahkan oleh Raja Sisingamangaraja XII
yang diaggap
sebagai wakil mulajadi na bolon.
6. Hasil Kebudayaan Suku
Batak
a.
Pakaian Adat Suku
Batak
Ulos adalah
kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol
restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi:
“Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong", yang artinya jika ijuk
adalah pengikat pelepah pada batangnya maka ulos adalah pengikat kasih sayang
antara sesama.
Secara harfiah,
ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindunginya dari terpaan
udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber yang
memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber
kehangatan tersebut ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan
sehari-hari.
Dahulu nenek
moyang suku Batak adalah manusia-manusia gunung, demikian sebutan yang
disematkan sejarah pada mereka. Hal ini disebabkan kebiasaan mereka tinggal dan
berladang di kawasan pegunungan. Dengan mendiami dataran tinggi berarti mereka
harus siap berperang melawan dinginnya cuaca yang menusuk tulang. Dari sinilah
sejarah ulos bermula.
Pada awalnya
nenek moyang mereka mengandalkan sinar matahari dan api sebagai tameng melawan
rasa dingin. Masalah kecil timbul ketika mereka menyadari bahwa matahari tidak
bisa diperintah sesuai dengan keinginan manusia. Pada siang hari awan dan
mendung sering kali bersikap tidak bersahabat. Sedang pada malam hari rasa
dingin semakin menjadi-jadi dan api sebagai pilihan kedua ternyata tidak begitu
praktis digunakan waktu tidur karena resikonya tinggi. Al hajatu ummul
ikhtira'at, karena dipaksa oleh kebutuhan yang mendesak akhirnya nenek moyang
mereka berpikir keras mencari alternatif lain yang lebih praktis. Maka lahirlah
ulos sebagai produk budaya asli suku Batak.
Tentunya ulos
tidak langsung menjadi sakral di masa-masa awal kemunculannya. Sesuai dengan
hukum alam ulos juga telah melalui proses yang cukup panjang yang memakan waktu
cukup lama, sebelum akhirnya menjadi salah satu simbol adat suku Batak seperti
sekarang. Berbeda dengan ulos yang disakralkan yang kita kenal, dulu ulos malah
dijadikan selimut atau alas tidur oleh nenek moyang suku Batak. Tetapi ulos
yang mereka gunakan kualitasnya jauh lebih tinggi, lebih tebal, lebih lembut
dan dengan motif yang sangat artistik.
Setelah mulai
dikenal, ulos makin digemari karena praktis. Tidak seperti matahari yang
terkadang menyengat dan terkadang bersembunyi, tidak juga seperti api yang bisa
menimbulkan bencana, ulos bisa dibawa kemana-mana. Lambat laun ulos menjadi
kebutuhan primer, karena bisa juga dijadikan bahan pakaian yang indah dengan
motif-motif yang menarik. Ulos lalu memiliki arti lebih penting ketika ia mulai
dipakai oleh tetua-tetua adat dan para pemimpin kampung dalam
pertemuan-pertemuan adat resmi. Ditambah lagi dengan kebiasaan para leluhur
suku Batak yang selalu memilih ulos untuk dijadikan hadiah atau pemberian
kepada orang-orang yang mereka sayangi.
Kini ulos
memiliki fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek kehidupan orang
Batak. ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku
Batak.
Mangulosi,
adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak. Mangulosi secara
harfiah berarti memberikan ulos. Mangulosi bukan sekadar pemberian hadiah
biasa, karena ritual ini mengandung arti yang cukup dalam. Mangulosi
melambangkan pemberian restu, curahan kasih sayang, harapan dan
kebaikan-kebaikan lainnya.
Dalam ritual
mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain bahwa seseorang
hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada
di bawah, misalnya orang tua boleh mengulosi anaknya, tetapi anak tidak boleh
mangulosi orang tuanya. Disamping itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai
dengan ketentuan adat. Karena setiap ulos memiliki makna tersendiri, kapan
digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana,
sehingga fungsinya tidak bisa saling ditukar.
Dalam
perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang "non Batak".
Pemberian ini bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada
penerima ulos. Misalnya pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat negara,
selalu diiringi oleh doa dan harapan semoga dalam menjalankan tugas-tugas ia
selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang
yang dipimpinnya.
Beberapa jenis
ulos yang dikenal dalam adat Batak adalah sebagai berikut:
Î Ulos Ragidup
Ragi
berarti corak, dan Ragidup berarti lambang kehidupan. Dinamakan demikian karena
warna, lukisan serta coraknya memberi kesan seolah-olah ulos ini benar-benar
hidup. Ulos jenis ini adalah yang tertinggi kelasnya dan sangat sulit
pembuatannya. Ulos ini terdiri atas tiga bagian; dua sisi yang ditenun
sekaligus, dan satu bagian tengah yang ditenun tersendiri dengan sangat rumit.
Ulos Rangidup bisa ditemukan di setiap rumah tangga suku batak di daerah-daerah
yang masih kental adat bataknya. Karena dalam upacara adat perkawinan, ulos ini
diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada ibu pengantin lelaki.
Hotang berarti
rotan, ulos jenis ini juga termasuk berkelas tinggi, namun cara pembuatannya
tidak serumit ulos Ragidup. Dalam upacara kematian, ulos ini dipakai untuk
mengafani jenazah atau untuk membungkus tulang belulang dalam upacara
penguburan kedua kalinya.
Î Ulos Sibolang
Disebut
Sibolang sebab diberikan kepada orang yang berjasa dalam mabolang-bolangi
(menghormati) orang tua pengantin perempuan untuk mangulosi ayah pengantin
laki-laki pada upacara pernikahan adat batak. Dalam upacara ini biasanya orang
tua pengantin perempuan memberikan Ulos Bela yang berarti ulos menantu kepada
pengantin laki-laki.
Mengulosi
menantu lelaki bermakna nasehat agar ia selalu berhati-hati dengan teman-teman
satu marga, dan paham siapa yang harus dihormati; memberi hormat kepada semua
kerabat pihak istri dan bersikap lemah lembut terhadap keluarganya. Selain itu,
ulos ini juga diberikan kepada wanita yang ditinggal mati suaminya sebagai
tanda penghormatan atas jasanya selama menjadi istri almarhum. Pemberian ulos
tersebut biasanya dilakukan pada waktu upacara berkabung, dan dengan demikian
juga dijadikan tanda bagi wanita tersebut bahwa ia telah menjadi seorang janda.
Ulos lain yang digunakan dalam upacara adat adalah Ulos Maratur dengan motif
garis-garis yang menggambarkan burung atau banyak bintang tersusun teratur.
Motif ini melambangkan harapan agar setelah anak pertama lahir akan menyusul
kelahiran anak-anak lain sebanyak burung atau bintang yang terlukis dalam ulos
tersebut.
Dari
besar kecil biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan menjadi dua bagian:
· Pertama,
Ulos Na Met-met; ukuran panjang dan lebarnya jauh lebih kecil daripada ulos
jenis kedua. Tidak digunakan dalam upacara adat, hanya untuk dipakai
sehari-hari.
· Kedua,
Ulos Na Balga; adalah ulos kelas atas. Jenis ulos ini pada umumnya digunakan
dalam upacara adat sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang diserahkan atau
diterima.
Biasanya
ulos dipakai dengan cara dihadanghon; dikenakan di bahu seperti selendang
kebaya, atau diabithon; dikenakan seperti kain sarung, atau juga dengan cara
dililithon; dililitkan dikepala atau di pinggang.
Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah,
upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan
upacara Tor-tor. Kain adat sesuai dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek
moyang.
b. Rumah Adat Suku Batak
Orang Batak memiliki pemukiman yang
khas berupa desa-desa yang tertutup dan terdiri dari kelompok-kelompok kecil.
Biasanya kelompok ini adalah kumpulan marga , clan atau kelompok yang masih
memiliki hubungan kekerabatan. Tipikal desa tertutup ini disebut huta (secara
khusus bagi orang Batak Toba).
Sebagai contoh desa tempat tinggal
orang Batak Toba pada jaman dahulu dikelilingi oleh tembok batu atau tanah
(parik) yang ditanami oleh pohon bambu yang sangat rapat sehingga hampir
mustahil ditembus manusia. Saat ini masih ada beberapa sisa-sisanya yang bisa
ditemukan di beberapa desa. Jalan masuk atau access road ke huta tersebut hanya
ada satu atau maksimal dua gerbang yang disebut bahal, yaitu bahal jolo
(gerbang depan) dan bahal pudi (gerbang belakang). Dekat dengan bahal biasanya
terdapat sebuah pohon beringin (baringin) atau hariara. Merupakan pohon
kehidupan yang dipercaya sebagai perantara antara dunia tengah dan dunia atas.
Kedua pohon ini selalu terlibat dalam ritual mistis dan acara-acara adat orang
Batak Toba.
Bagi orang Batak Toba terdapat dua
jenis rumah adat yang ada di dalam suatu huta, yaitu ruma dan sopo yang letaknya biasa saling
berhadapan. Diantara kedua deret ruma dan sopo tersebut terdapat
halaman(alaman) yang luas dan digunakan sebagai pusat kegiatan orangtua maupun
anak-anak. Kedua bangunan ini, meskipun secara sekilas kelihatan sama,
sebenarnya sangat berbeda dari segi konstruksi dan fungsi. Dari segi
konstruksi, ciri-ciri yang bisa dilihat adalah bentuk tangga, besar dan jumlah
tiang, serta bentuk pintu. Konstruksi interior bangunan juga berbeda. Dari segi
fungsi, ruma adalah tempat tinggal orang Batak, sedangkan sopo berfungsi
sebagai lumbung padi, sebagai tempat pertemuan, tempat bertenun dan menganyam
tikar, dan tempat untuk muda-mudi bertemu. Sopo orang Batak Toba pada awalnya
tidak berdinding, tetapi oleh karena biaya mendirikan ruma sangat mahal dan
susah, dikemudian hari sopo ini dialihkan fungsinya menjadi rumah tinggal
dengan menambahkan dinding, pintu dan jendela.
Demikian juga rumah adat orang Batak
yang lainnya memiliki tipikal bentuk rumah dan fungsi yang hampir sama. Namun
masing-masing rumah adat tetap memiliki kekhasan masing-masing.
Rumah
adat suku Batak Toba disebut juga ‘rumah bolon’. Rumah ini berbentuk panggung dengan bahan utama
bangunan berupa kayu. Hal yang paling menarik perhatian adalah bentuk atapnya
yang melengkung dan runcing di tiap ujungnya.
Di balik bentuknya yang sangat unik, ternyata rumah
adat suku Batak ini memiliki makna dan arti tersendiri.Filosofi rumah adat suku
batak memang sangat menarik untuk dipelajari, mulai dari proses pembangunan
rumah sampai segala dekorasi, ternyata semuanya memiliki makna yang cukup
dalam.
Ê Pembangunan Rumah Bolon
Proses pembangunan rumah adat suku Batak selalu
dilaksanakan secara gotong royong. Bahan yang digunakan adalah bahan yang
dengan kualitas baik, umumnya seorang pande (tukang) akan memilih kayu-kayu
dengan cara memukul kayu tersebut dengan suatu alat untuk mencari bunyi kayu
yang nyaring.
Pondasi rumah adalah hal yang terpenting, dibuat
dengan formasi berbentuk segi empat, dipadu tiang dan dinding yang kuat. Makna
dari pondasi ini sendiri adalah saling bekerja sama demi memikul beban yang
berat.
Untuk bagian atas rumah, ditopang oleh sebuah tiang yang
biasa disebut tiang “ninggor” dibantu oleh kayu penopang yang lain. Tiang
“ninggor” ini lurus dan tinggi, orang suku Batak memaknainya sebagai simbol
kejujuran. Untuk menjunjung tinggi kejujuran, perlu didukung oleh rasa keadilan
(disimbolkan oleh kayu penopang pada “ninggor”).
Di bagian depan atap terdapat “arop-arop” bermakna
harapan untuk bisa hidup layak. Lalu ada “songsong boltok” untuk menahan atap,
yang punya arti bila ada pelayanan tuan rumah yang kurang baik sebaiknya
dipendam dalam hati saja.
Ê Interior Rumah Adat Suku
Batak
Orang suku Batak selalu membersihkan ruangan rumah
dengan cara menyapu semua kotoran dan mengeluarkannya lewat lubang “talaga”
yang ada di dekat tungku masak. Hal ini juga bermakna untuk membuang segala
keburukan di dalam rumah, juga melupakan kelakuan-kelakuan yang tidak baik.
Di dalam rumah terdapat semacam rumah panggung kecil
yang mirip balkon pada rumah biasa. Tempat ini untuk menyimpan padi, bermakna
pula sebagai pengharapan untuk kelancaran rezeki.
Di setiap rumah di bagian pintu masuk, selalu ada
tangga. Bagi orang lain, bila ada tangga rumah rusak, mungkin akan mengeluh.
Tapi bagi orang Batak, bila tangga rumah ini cepat rusak atau aus, itu malah
membanggakan. Karena itu artinya sering dipakai orang atau dikunjungi orang
karena tuan rumah tersebut adalah orang yang baik dan ramah.
Ø Gorga
Gorga adalah pahatan/ukiran kayu yang ada pada rumah
adat suku Batak. Hiasan ini sendiri memiliki nama-nama tersendiri berdasarkan
bentuk ukirannya :
· Gorga simataniari
(matahari) : menggambarkan matahari yang merupakan sumber kehidupan manusia.
· Gorga desa naualu :
menggambarkan 8 penjuru mata angin yang sangat berkaitan erat dengan aktivitas
ritual suku Batak
· Gorga singa-singa :
menggambarkan tuan rumah sebagai orang yang kuat, kokoh, pemberani dan
berwibawa.
Itu beberapa contoh nama gorga, masih cukup banyak
nama gorga lainnya yang memiliki makna tertentu. Gorga sendiri sering dilukis
dengan 3 warna :
· Merah : melambangkan
kecerdasan dan wawasan yang luas sehingga lahir kebijaksanaan.
· Putih : melambangkan
kejujuran yang tulus sehingga lahir kesucian.
· Hitam : melambangkan
kewibawaan yang melahirkan kepemimpinan.
Selain terdapat Gorga rumah adat Suku Batak juga ada
yang dipasangi tanduk kerbau di pucuk atapnya.
Hal ini melambangkan rumah sebagai “kerbau berdiri tegak”.
Suku Batak menganggap rumah adat mereka sebagai kerbau
yang sedang berdiri dan dinamakan Rumah Balai Batak Toba. Bentuk rumah adat
suku Batak berupa rumah panggung.
Selain sangat menghargai binatang kerbau, warga masyarakat
Sumatera Utara sangat mencintai gotong royong dan kebersamaan. Misalnya, pada
saat membangun rumah adat suku Batak, mereka melakukannya dengan
bersama-sama.
Ê Bagian-bagian Rumah Adat Suku Batak
1)
Rumah
adat suku Batak terdiri dari tiga bagian yang disebut tritunggal benua, yaitu:
· Atap rumah atau benua atas
yang dipercaya sebagai tempat dewa.
· Lantai dan dinding atau
benua tengah yang ditempati manusia.
· Kolong rumah atau benua
bawah yang dipercaya sebagai sebagai tempat kematian.
Pada zaman dulu, rumah bagian tengah itu tidak
mempunyai kamar. Untuk masuk ke dalam rumah harus menaiki tangga dari kolong
rumah. Anak tangganya berjumlah lima sampai tujuh buah.
2)
Bagian
rumah adat Batak berupa tiang biasanya dekat dengan pintu. Tiang ini memepunyai
bentuk yang bulat panjang, yang dimaksudkan untuk menyangga bagian atas atau
lantai dua.
3)
Balok
digunakan untuk menghubungkan semua tiang yang disebut juga dengan
rassang. Balok bentuknya lebih tebal daripada papan Balok ini bisa
menyatukan tiang-tiang depan, belakang, samping kanan dan kiri rumah, dan
dipegang oleh solong-solong (pengganti paku).
4)
Terdapat
pintu di kolong rumah untuk jalan masuk kerbau supaya bisa masuk ke dalam
kolong.
5)
Rumah adat suku Batak mempunyai atap rumah
yang terbuat dari ijuk. Ijuk ini terdiri atas 3 lapisan. Tuham-tuham merupakan
lapisan pertama, sedangkan lapisan kedua disebut lalubak dan kemudian
dilanjutkan dengan lapisan ketiga.
6)
Tangga
rumah adat suku Batak ada dua macam, yaitu:
· Pertama adalah tangga
jantan (balatuk tunggal). Tangan jantan terbuat dari beberapa potongan pohon.
Jenis pohon yang bisa dijadikan tangga tidak sembarang. Pohon ini biasanya
disebut sibagure, merupakan jenis pohon yang mempunyai batang kuat.
· Kedua disebut tangga
betina (balatuk boru-boru). Jenis tangga ini merupakan paduan beberapa potong
kayu yang keras dan biasanya terdiri atas anak tangga dengan hitungan yang
ganjil.
Ê Ciri Khas Rumah Adat Suku Batak
Ada beberapa ciri khas yang dapat dijumpai pada rumah
adat suku Batak. Diantaranya adalah:
· Bentuk bangunan merupakan
perpaduan dari tiga macam hasil seni, yaitu seni pahat, seni ukir, serta hasil
seni kerajinan.
· Bentuk rumah adat dari
suku Batak pada umumnya melambangkan “Kerbau berdiri tegak”.
· Menghias bagian atap
dengan tanduk kerbau.
· Bangunan dibuat berdasarkan
musyawarah dan saran-saran dari para orang tua.
Macam -
MacamBentuk Rumah Adat Suku Batak
Î Batak Toba
Rumah Batak Toba memberikan kesan kokoh
karena konstruksi tiang-tiangnya terbuat dari kayu gelondongan. Dulu ketika
sering terjadi pertikaian antarsuku, rumah-rumah selalu dikelompokkan sebagai
benteng di atas bukit. Lingkungannya dikelilingi pohon sebagai pagar yang cukup
rapat.
Gambar : rumah adat
batak Toba
Î
Batak Karo
Rumah Batak Karo merupakan tipe rumah
pegunugan. Pintu depannya dihadapkan ke arah hulu dan pintu belakangnya ke arah
muara. Bentuk atap rumah kepala marga berbeda dengan bentuk rumah-rumah
lainnya. Umumnya, denah rumah Batak Karo direncanakan untuk keluarga jamak yang
dihuni rata-rata delapan keluarga batih.
Gambar : rumah adat
batak Karo(siwaluh jabu)
Î Batak Pakpak
Gambar : rumah adat batak Pakpak
Î Batak
Simalungun
Bentuk atap rumah Batak Simalungun
kadang-kadang tidak simetris.Makhota atapnya menghadap ke empat arah mata angin
dan ujung atapnya dihiasi dengan hiasan yang berbentuk kepala kerbau.
Î Batak
Angkola
Gambar : rumah adat batak Angkola
Î Batak
Mandaling
Gambar : rumah adat batak Mandailing (bagas godang)
c. Senjata Tradisional
Tunggal Panaluan adalah senjata
tradisional bagi suku bangsa Batak Toba. Senjata ini sebenarnya adalah wujud
tongkat berukir dan pangkalnya berwujud kepala manusia lengkap dengan rambutnya
yang terbuat dari bulu kuda.
d. Upacara
Upacara dalam masyarakat Sumatra Utara,
khususnya bagi masyarakat Batak adalah merupakan upacara religius dan sakral.
Contoh
upacara adat Suku Batak:
·
Upacara
Masa Kehamilan
·
Upacara
Kelahiran
·
Upacara
Martutuaek
·
Upacara
Mangebang
·
Upacara
Khitanan
·
Upacara
Kematian
·
Upacara
Mangokal Holi
7. Organisasi
Masyarakat
a. Falsafah Dan Sistem Kemasyarakatan
Ada falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi : jonok
dongan
partubu jonokan do dongan parhundul, merupakan suatu filosofi agar kita
senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman
terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu
marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan
adat.
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus struktur dan system dalam
kemasyarakatannya yakni yang dalam bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan na Tolu
dalam enam puak Batak.
Ø
Dalihan Na Tolu (Toba) : somba marhula-hula, manat mardongan
tubu dan elek marboru.
Ø
Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) : hormat
Marmora, manat markahanggi dan elek maranak boru.
Ø
Tolu Sahundulan (Simalungun) : martondong ningon hormat sombah,
marsanina ningon pakkei manat dan marboru ningon elek pakkei.
Ø
Rakut Sitelu (Karo) : nembah man kalimbubu, mehamat man
sembuyak dan nami-nami man anak beru.
Ø
Daliken Sitelu (Pakpak) : sembah merkula-kula, manat
merdengan tubuh dan elek marberru.
Ø
Hula-hula atau mora : adalah pihak keluarga dari istri.
Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan
adat-istiadat Batak (semua sub suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak
dipesankan harus hormat kepada Hula-hula (Somba Marhula-hula).
Ø
Dongan tubu atau hahanggi : disebut juga Dongan Sabutuha adalah
saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari satu perut yang sama.
Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun
karena terlalu dekatnya kadang-kadang saling bergesekan. Namun, pertikaian
tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang
dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetap bersatu. Namun kemudian kepada
semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara
semarga. Diistilahkan Manat Mardongan Tubu.
Ø
Boru atau anak boru : adalah pihak keluarga yang
mengambil istri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi
paling rendah sebagai parhobas atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari
maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai
pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak
boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan Elek Marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem
kekerabatan Dalihan Na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya,
semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi hula-hula, juga sebagai dongan tubu
juga sebagai boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara
kontekstual.
Sehingga dalam tata
kekerabatan, semua orang Batak harus berprilaku raja. Raja dalam tata
kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang
berprilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka
dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut raja ni hula-hula, raja ni dongan
tubu dohot raja ni boru.
8. Sistem politik
Secara umum, kepemimpinan pada masyarakat
Batak terbagi dalam tiga bidang, yaitu kepemimpinan adat, pemerintah, dan
agama. Kepemimpinan dalam bidang adat meliputi persoalan perkawinan,
perceraian, kematian, warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran anak, dan
sebagainya. Kepemimpinan di bidang adat tidak berada dalam tangan seorang
tokoh, tetapi merupakan suatu musyawarah dari sangkep sitelu.
Kepemimpinan
di bidang pemerintahan dipegang oleh salah satu dari turunan tertua merga taneh.
Kepala huta disebut penghulu, kepala urungdisebut raja urung dan sibayak untuk
bagian kerajaan. Kedudukan tersebut merupakan jabatan turun-temurun dan yang
berhak adalah anak laki-laki tertua (situa) atau si bungsu (sinuda).
Anak-anak yang lain (sitengah) tidak mempunyai hak menjadi pemimpin.
Selain menjalankan pemerintaha, mereka juga menjalankan tugas peradilan,
yaitu penghulu mengetuai sidang di balehuta dan raja urung.
Pengadilan teretinggi adalah bale raja berompat yang
merupakan sidang kelima sibayak yang ada di Karo.
Masyarakat
Karo tidak mengenal pimpinan keagamaan asli karena konsepsi tentang kekuatan
gaib dan kepercayaan lain tidak seragam. Namun, pada suku bangsa Batak yang
menganut agama islam, tokoh dalam agam islam (para mualim) sangat
besar peranan dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Jabatan ini tidak
turun-temurun, seperti dukun guru sibaso yang
menjadi dukun karena pengalaman tertentu. Demikian pula pemilihan pendeta dan
ulama, mereka dipilih karena pengetahuan agama, pengabdian, dan keteladanannya.
9.Sistem IPTEK
Sistem
teknologi dalam orang Batak Toba cukup unik dengan adanya ruma batak yang
menjadi arsitektur kebanggaan mereka. Ruma Batak ini dibangun dari bahan-bahan
alami seperti ijuk, kayu, dan batu. Terdapat pengaturan hierarki ruang dalam
ruma batak ini menurut kepentingan ruang dan penamaannya berdasarkan jenis
ruangan tersebut.
Selain itu juga terdapat hirarki pembentukan
sebuah kampung atau huta yang dimulai dari kelompok terkecil yaitu klan
keluarga, huta, kemudian bius sebagai kelompok yang terbesar. Orang Batak memiliki kegemaran dan keahlian
mengukir sejak lama.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh
bentuk peninggalan perhiasan yang ditemukan oleh para ahli. Material yang
diukir adalah kayu dan juga logam. Perhiasan tersebut biasanya digunakan oleh
para tetua atau keluarga pemimpin.
Peninggalan perhiasan seperti ini juga dapat
menunjukkan tingginya kemampuan teknologi yang telah berkembang pada masa itu.
Selain perhiasan, masyarakat orang Batak juga menggunakan ukiran dari kayu yang
disebut sebagai Gorga. Masing-masing gorga memiliki nama dan makna tersendiri
serta bentuk yang khas. Penggunaan gorga ini mengikuti aturan-aturan tertentu
yang telah ada sejak lama. Aturan tersebut menyangkut ketepatan pemaknaan dan
penggunaan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Hingga sekarang orang Batak
juga masih tetap menekuni kegemaran mengukir seperti ini namun jumlah peminat
dan yang memiliki keahlian untuk mengukir sudah sangat terbatas jumlahnya.
Bab 3 Penutup
a.
Kesimpulan
Suku Batak adalah suku yang terletak
di daerah pegunungan Sumatera Utara, mulai dari perbatasan DAC di utara sampai
ke perbatasan dengan Riau dan Sumatera Barat di sebelah selatan. Suku Batak
lebih khusus terdiri dari sub suku-suku bangsa:
1.
Batak
Karo
2.
Batak
Simalungun
3.
Batak
Pakpak
4.
Batak
Toba
5.
Batak
Angkola
Unsur kebudayaan suku Batak terdiri
dari, unsur religi, unsur kekerabatan, unsur polotik, unsur kesenian,
organisasi, iptek, hasil kebudayaan,
bahasa dan mata pencaharian. Dalam kehidupan keseharian orang Batak
menggunakan beberapa logat yaitu logat Karo, logat Pakpak, logat Simalungun,
logat Toba. Suku Batak di dominasi oleh agama kristen protestan.
Daftar Pustaka
Prof.
Dr. Koentjaraningrat 1999 manusia dan kebudayaan di Indonesia, Djambatan
http//:
unsurkebudayaanBatak.com
http//:wikipedia.com
http//:bloganneahira.com
http//:filosofi
sukuBatak.com
Kaget, Salut dan takjub saya menemukan bacaan ini. Semoga semakin banyak generasi muda menyadari betapa indah dan bermanfaat mengetahui sejarah kebangsaannya seperti tulisan ini. Terima kasih.
BalasHapusHIS Graha Elnusa Hubungi : 0822 – 9914 – 4728 (Rizky)
BalasHapusMenikah adalah tujuan dan impian Semua orang, Melalui HIS Graha Elnusa Wedding Package , anda bisa mendapatkan paket lengkap mulai dari fasilitas gedung full ac, full carpet, dan lampu chandeliar yg cantik, catering dengan vendor yang berpengalaman, dekorasi, rias busana, musik entertainment, dan photoghraphy serta videography. Kenyaman dan kemewahan yang anda dapat adalah tujuan utama kami.
Hanya butuh 1 ID bisa main 8
BalasHapusJenis Permainan dan menjadi Jutawan.
Ayo Gabung bersama kami Bosku.
arena-domino.net
Buktikan Sendiri Bossku!